Selasa, 28 Juni 2016

Penulisan mengenai Persaingan usaha Tidak Sehat dan Contoh Kasusnya


Dalam penulisan kali ini saya akan membahas salah satu Persaingan usaha tidak sehat yaitu “Penguasaan Pasar :
Penguasaan Pasar
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 rnerumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiaran, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu
1.     menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk rnelakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
2.    menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
3.    membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkuran; atau melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu
1.     menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2.    menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungaa usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
3.    membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
4.    d.      melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
CONTOH KASUS:
Penguasaan pasar di tangan Astro memang mengubah kebiasaan masyrakat banyak. Kini hanya mereka yang sanggup membayar Rp. 200 ribu per bulan dengan berlangganan Astro yang dapat menyaksikan sebuah liga sepakbola yang sering disebut sebagai paling kompetitif dan atraktif di dunia tersebut. Mayoritas penggemar lainnya akan hanya bisa mendengarkan cuplikan beritanya, karena satu alasan sederhana: tarif berlangganan itu terlalu tinggi untuk kondisi ekonomi mereka yang memang sangat terbatas.
Namun tentu saja, yang mengeluh bukan hanya kaum miskin. Isu ini juga diangkat oleh para pengelola lembaga penyiaran berlangganan pesaing Astro yang kehilangan salah satu program unggulan mereka. Yang dikuatirkan, monopoli di tangan Astro akan merebut pangsa pasar yang jumlahnya sudah sangat terbatas .
Dalam studi kasus monopoli siaran liga Inggris yang dilakukan oleh Astro TV banyak pasal yang bisa dikaitkan atau dikenakan, dalam pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
1.     menolak dan atau menghalangai pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
2.    atau mematikan usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Ada dua aspek tentang penyiaran Liga Inggris, yaitu ada hak publik dan sisi keadilan berbisnis. Hak publik harus segera dikembalikan ke publik. Masyarakat tidak mau tahu mengenai tender internasional hak siar Liga Inggris yang dimenangkan oleh ESPN Star Sport, dan untuk Indonesia hak siar tersebut dipegang hanya oleh Astro. Masyarakat hanya mengharapkan mereka bisa melihat siaran Liga Inggris dengan mudah dan gratis di TV mana pun. Mengenai aspek kedua terkait Liga Inggris, adalah dari sisi keadilan berbisnis. Hal inilah yang akan dibawa dan diselesaikan ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) .
Pasal lanjutan yang dikenakan adalah mengenai persekongkolan, bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain unyuk mengatur dan atau menentukan pemenag tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat . Dugaan diluncurkan para pihak yang merasa dirugikan karena diduga proses pemberian hak siar ekslusif dari ESS kepada Astro, tidak melalui mekanisme competition for the market yang wajar.
Mengenai penjualan hak siar Liga Inggris kepada Astro ini, berkembang di kalangan pertelevisian bahwa diduga dana pembelian ESS ketika memenangkan lelang tayangan Liga Inggris berasal dari Astro, sementara pihak ESS hanya bertindak sebagai broker saja .

SUMBER:

BENARKAH ADA KARTEL YANG MEMPENGARUHI HARGA DAGING DI PASARAN ?




Rimanews - Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang meminta aparat keamanan mengungkap kartel di balik tingginya harga pangan, terutama daging sapi saat Ramadhan. 
Dia menduga setidaknya ada lima kartel besar yang terlibat dalam hal ini. 
"Sedikitnya lima kartel besar. Biar aparat keamanan yang menertibkan dia. Tetapi ini dilihat dari mengapa Presiden berani mengatakan harga daging cukup Rp80 ribu per kilogram? Karena Presiden sudah komunikasi dengan menterinya," ujar dia di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (8/06/2016).  
"Ini harus kita bongkar. Ini kepentingan rakyat, karena kartel-kartel telah menindas rakyat. Harga daging sebenarnya bisa Rp70 ribu. Presiden cerdas, tahu harga daging berapa," tambah Oesman. 
MPR, lanjut dia, sangat mendukung harga pangan yang terjangkau rakyat. "MPR akan sangat mendukung harga yang terjangkau. Kita sepakat dengan harga yang relevan. Tentu ada sesuatu yang harus dibongkar," tutur OSO, sapaan akrab Osman.







Bisnis.com, JAKARTA - Saksi ahli dari pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut diduga disebabkan oleh adanya perilaku anti persaingan usaha.
Saksi ahli hukum persaingan usaha Prahasto W. Pamungkas mengatakan terjadinya dampak kenaikan harga bisa disebabkan oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tindakan tersebut dapat berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak secara bersama-sama.
"Pelaksanaan tindakan tersebut bisa saja dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik berbentuk tertulis atau lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata Prahasto dalam sidang pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu (20/1/2016).
Dia menjelaskan unsur dalam perilaku kartel disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bunyi pasal tersebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prahasto menuturkan dugaan penahanan pasokan yang dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan investigator Komisi dengan kenaikan harga daging sapi di pasaran. Hal tersebut perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian dan bukti keuntungan dari pelaku usaha.
Jika mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak keuntungan maupun kenaikan harga tidak diperlukan. Selama unsur perjanjian dan pengaturan pasokan terpenuhi, maka para terlapor sudah memenuhi tindakan kartel yang tercantum dalam pasal tersebut.
Menurutnya, pembuktian keuntungan maupun kerugian para terlapor membutuhkan alat bukti ekonomi atau circumstantial evidence. Pembuktian tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan yang berkaitan, kendati belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.
Sementara itu, kuasa hukum para terlapor Rian Hidayat mengatakan selama persidangan Komisi belum bisa membuktikan adanya perilaku kartel maupun penahanan pasokan.
"Selama ini belum pernah disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya kartel," kata Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.
Dia menjelaskan para terlapor tidak mungkin melakukan kartel karena kekuatan pasar rata-rata masih di bawah 3% secara nasional.
Rian menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Produksi sapi lokal dinilai masih sangat minim.
Di sisi lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.
Menurutnya, kebijakan kuota dari pemerintah juga harus disorot oleh KPPU.
"Ahli yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami tidak kompeten karena bukan merupakan tenaga pengajar akademis di bidang persaingan usaha," ujarnya.
Dalam Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32 terlapor tentang gugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor 5/1999 dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Jika terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka sesuai undang-undang, pelaku usaha akan diganjar denda dengan rentang minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.




SUMBER :
http://rimanews.com/ekonomi/bisnis/read/20160608/285580/Ada-Kartel-di-Balik-Meroketnya-Harga-Daging-Sapi

BENARKAH ADA KARTEL YANG MEMPENGARUHI HARGA DAGING DI PASARAN ?




Rimanews - Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang meminta aparat keamanan mengungkap kartel di balik tingginya harga pangan, terutama daging sapi saat Ramadhan. 
Dia menduga setidaknya ada lima kartel besar yang terlibat dalam hal ini. 
"Sedikitnya lima kartel besar. Biar aparat keamanan yang menertibkan dia. Tetapi ini dilihat dari mengapa Presiden berani mengatakan harga daging cukup Rp80 ribu per kilogram? Karena Presiden sudah komunikasi dengan menterinya," ujar dia di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (8/06/2016).  
"Ini harus kita bongkar. Ini kepentingan rakyat, karena kartel-kartel telah menindas rakyat. Harga daging sebenarnya bisa Rp70 ribu. Presiden cerdas, tahu harga daging berapa," tambah Oesman. 
MPR, lanjut dia, sangat mendukung harga pangan yang terjangkau rakyat. "MPR akan sangat mendukung harga yang terjangkau. Kita sepakat dengan harga yang relevan. Tentu ada sesuatu yang harus dibongkar," tutur OSO, sapaan akrab Osman.







Bisnis.com, JAKARTA - Saksi ahli dari pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut diduga disebabkan oleh adanya perilaku anti persaingan usaha.
Saksi ahli hukum persaingan usaha Prahasto W. Pamungkas mengatakan terjadinya dampak kenaikan harga bisa disebabkan oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tindakan tersebut dapat berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak secara bersama-sama.
"Pelaksanaan tindakan tersebut bisa saja dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik berbentuk tertulis atau lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata Prahasto dalam sidang pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu (20/1/2016).
Dia menjelaskan unsur dalam perilaku kartel disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bunyi pasal tersebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prahasto menuturkan dugaan penahanan pasokan yang dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan investigator Komisi dengan kenaikan harga daging sapi di pasaran. Hal tersebut perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian dan bukti keuntungan dari pelaku usaha.
Jika mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak keuntungan maupun kenaikan harga tidak diperlukan. Selama unsur perjanjian dan pengaturan pasokan terpenuhi, maka para terlapor sudah memenuhi tindakan kartel yang tercantum dalam pasal tersebut.
Menurutnya, pembuktian keuntungan maupun kerugian para terlapor membutuhkan alat bukti ekonomi atau circumstantial evidence. Pembuktian tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan yang berkaitan, kendati belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.
Sementara itu, kuasa hukum para terlapor Rian Hidayat mengatakan selama persidangan Komisi belum bisa membuktikan adanya perilaku kartel maupun penahanan pasokan.
"Selama ini belum pernah disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya kartel," kata Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.
Dia menjelaskan para terlapor tidak mungkin melakukan kartel karena kekuatan pasar rata-rata masih di bawah 3% secara nasional.
Rian menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Produksi sapi lokal dinilai masih sangat minim.
Di sisi lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.
Menurutnya, kebijakan kuota dari pemerintah juga harus disorot oleh KPPU.
"Ahli yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami tidak kompeten karena bukan merupakan tenaga pengajar akademis di bidang persaingan usaha," ujarnya.
Dalam Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32 terlapor tentang gugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor 5/1999 dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Jika terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka sesuai undang-undang, pelaku usaha akan diganjar denda dengan rentang minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.




SUMBER :
http://rimanews.com/ekonomi/bisnis/read/20160608/285580/Ada-Kartel-di-Balik-Meroketnya-Harga-Daging-Sapi
 

Anggi Luvtiana Template by Ipietoon Cute Blog Design