Jumat, 08 April 2016

Perjanjian dan Perikatan

CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA KIOS
Yang bertanda tangan di bawah ini  :
1.      Nama               : Dyandra Alviolita
Alamat            : Halim Perdana Kusuma
Selanjutnya disebut sebgai pihak 1(pertama)/Pemilik kios
2.      Nama               : Jasmine Makyla
Alamat            : Puri Gading , Bekasi
Selanjutnya disebut sebagai pihak II (kedua)/penyewa kios
Hari ini Sabtu ,tanggal 09 April 2016 , pihak 1 selaku pemilik kios di Jln.Pondok Gede Raya ,menyewakan kepada pihak II selama 3 (tiga) tahun dengan harga sewa Rp.15.000.000 (lima belas juta rupiah ) per tahun mulai  11 April 2016 – 11 April 2019. Adapun cara pembayaran akan dibayarakan setiap 1 tahun sekali .
Demikian surat perjanjian ini kami buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan sari pihak manapun. Dan apabila di ku=emudian hari terjadi perselisihan maka akan di selesaikan secara kekeluargaan .


Jakarta, 09 April 2016


         Pihak Pertama                                                           Pihak Kedua                                                         
                   

                                                           

                                                           
     
        Dyandra Alviolita                                                       Jasmine Makyla



                                                            SAKSI-SAKSI






           Denada Pandipta                                                       Pradipta Kenda















PERJANJIAN DAN PERIKATAN

A.PENGERTIAN PERIKATAN
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.            
 Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak
B.   Dasar hukum perikatan            
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.      Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.      Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.      Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
C.   Azas-azas hukum perikatan
 1. ASAS KONSENSUALISME
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt :untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
 (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
 (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
 (3) suatu hal tertentu
 (4) suatu sebab yang halal. Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2. ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt:
 ·  Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
· Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
3.      ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
 Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
 ·Membuat atau tidak membuat perjanjian;
 · Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
 · Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
 ·  Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.      Asas kepercayaan;
 2.      Asas persamaan hukum;
3.      Asas keseimbangan;
4.      Asas kepastian hukum;
5.      Asas moral;
6.      Asas kepatutan;
7.      Asas kebiasaan;
8.      Asas perlindungan;

D.   Hapusnya Perikatan            
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
·         Pembayaran.
·         Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
 ·         Pembaharuan utang (novasi).
·         Perjumpaan utang atau kompensasi.
 ·        Percampuran utang (konfusio).
·         Pembebasan utang.
·         Musnahnya barang terutang.
·         Batal/ pembatalan.
·         Berlakunya suatu syarat batal.
 ·        Dan lewatnya waktu (daluarsa).            

 HUKUM PERJANJIAN
A.        Standar Kontrak
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus. -   Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
 - Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.            
Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan.

           
 Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisi:
 1.      Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
 2.      Subjek dan jangka waktu kontrak
 3.      Lingkup kontrak
 4.      Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
 5.      Kewajiban dan tanggung jawab
 6.      Pembatalan kontrak
B.   Macam – Macam Perjanjian
1.      Perjanjian Jual-beli
2.      Perjanjian Tukar Menukar
3.      Perjanjian Sewa-Menyewa
4.      Perjanjian Persekutuan
5.      Perjanjian Perkumpulan
6.      Perjanjian Hibah
7.      Perjanjian Penitipan Barang
8.      Perjanjian Pinjam-Pakai
9.      Perjanjian Pinjam Meminjam
    10.  Perjanjian Untung-Untungan


C.   Syarat Sahnya Perjanjian            
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1.      Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3.      Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4.      Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
D.   Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian            
Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
1.      Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
 2.      Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.      Terkait resolusi atau perintah pengadilan
 4.      Terlibat hukum
5.      Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian .
















PERJANJIAN TIDAK BERNAMA
Pengertian Perjanjian Tidak Bernama dan Dasar Hukumnya
Perjanjian tidak bernama, adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.
Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.
Di luar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.
Leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti menyewakan. Di Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan nama “sewa guna usaha”. Sewa Guna Usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.
Pasal 1 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik IndonesiaNo.1169/KMK.01/1991 memberikan definisi leasing, yaitu:
Sewa-guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala
Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama sampai saat ini tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya. Pengaturan leasing baru terdapat pada tingkat Keputusan Menteri Keuangan dan peraturan-peraturan lain dibawahnya.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pegangan yang pasti adalah Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974,No.32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974.
Leasing merupakan perjanjian yang lahir dari praktek kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip asas kebebasan berkontrak. Leasing sebagai salah satu lembaga hukum perjanjian merupakan perjanjian in-nominat (perjanjian tidak bernama) dimana ketentuan mengenai perjanjian tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab I dan Bab II KUHPerdata, hal ini seperti yang ditentukan dalam pasal 1319 KUHPerdata.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Lembaga Leasing
Lembaga Leasing merupakan suatu hal baru untuk Indonesia diakui oleh Mahkamah Agung. Asas kebebasan berkontrak yang menjadi dasar untuk diperkayanya lembaga-lembaga hukum dalam sistem di Indonesia yang tumbuh dalam praktek ini.
Putusan Mahkamah Agung Reg. 131K/Pdt/1987 tertanggal 14 November 1988 telah memperkembangkan berbagai lembaga-lembaga baru dalam sistem hukum di Indonesia, karena dalam praktek banyak dipergunakan sehari-hari di Indonesia, Pengadilan juga mengakui keabsahannya.
Dalam putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa walaupun Lembaga Leasing tidak diatur dalam KUHPerdata, namun dengan sistem terbuka yang dianut oleh KUHPerdata tersebut di mana terdapat asas Kebebasan Berkontrak, maka pihak-pihak bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja selama tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata “; Jadi Mahkamah Agung secara tegas mendukung adanya asas kebebasan berkontrak. Segala perjanjian yang tidak dilarang adalah diperbolehkan.


















SUMBER :


 

Anggi Luvtiana Template by Ipietoon Cute Blog Design