Rimanews - Wakil Ketua MPR
Oesman Sapta Odang meminta aparat keamanan mengungkap kartel di balik tingginya
harga pangan, terutama daging sapi saat Ramadhan.
Dia menduga
setidaknya ada lima kartel besar yang terlibat dalam hal ini.
"Sedikitnya lima
kartel besar. Biar aparat keamanan yang menertibkan dia. Tetapi ini dilihat
dari mengapa Presiden berani mengatakan harga daging cukup Rp80 ribu per
kilogram? Karena Presiden sudah komunikasi dengan menterinya," ujar dia di
Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (8/06/2016).
"Ini harus kita
bongkar. Ini kepentingan rakyat, karena kartel-kartel telah menindas rakyat.
Harga daging sebenarnya bisa Rp70 ribu. Presiden cerdas, tahu harga daging
berapa," tambah Oesman.
MPR, lanjut dia,
sangat mendukung harga pangan yang terjangkau rakyat. "MPR akan sangat
mendukung harga yang terjangkau. Kita sepakat dengan harga yang relevan. Tentu
ada sesuatu yang harus dibongkar," tutur OSO, sapaan akrab Osman.
Bisnis.com, JAKARTA - Saksi ahli dari pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha
menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut diduga disebabkan oleh adanya
perilaku anti persaingan usaha.
Saksi
ahli hukum persaingan usaha Prahasto W. Pamungkas mengatakan terjadinya dampak
kenaikan harga bisa disebabkan oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Tindakan tersebut dapat berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak
secara bersama-sama.
"Pelaksanaan
tindakan tersebut bisa saja dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik
berbentuk tertulis atau lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata
Prahasto dalam sidang pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu
(20/1/2016).
Dia
menjelaskan unsur dalam perilaku kartel disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang
No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bunyi
pasal tersebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prahasto
menuturkan dugaan penahanan pasokan yang dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan
investigator Komisi dengan kenaikan harga daging sapi di pasaran. Hal tersebut
perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian dan bukti keuntungan dari pelaku
usaha.
Jika
mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak keuntungan maupun kenaikan harga tidak
diperlukan. Selama unsur perjanjian dan pengaturan pasokan terpenuhi, maka para
terlapor sudah memenuhi tindakan kartel yang tercantum dalam pasal tersebut.
Menurutnya,
pembuktian keuntungan maupun kerugian para terlapor membutuhkan alat bukti
ekonomi atau circumstantial
evidence. Pembuktian
tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan yang berkaitan, kendati
belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.
Sementara
itu, kuasa hukum para terlapor Rian Hidayat mengatakan selama persidangan
Komisi belum bisa membuktikan adanya perilaku kartel maupun penahanan pasokan.
"Selama
ini belum pernah disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya
kartel," kata Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.
Dia
menjelaskan para terlapor tidak mungkin melakukan kartel karena kekuatan pasar
rata-rata masih di bawah 3% secara nasional.
Rian
menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri sebagian besar berasal dari impor.
Produksi sapi lokal dinilai masih sangat minim.
Di sisi
lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan yang
semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.
Menurutnya,
kebijakan kuota dari pemerintah juga harus disorot oleh KPPU.
"Ahli
yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami tidak kompeten karena bukan merupakan
tenaga pengajar akademis di bidang persaingan usaha," ujarnya.
Dalam
Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32 terlapor tentang gugaan Pelanggaran
Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor 5/1999 dalam perdagangan sapi impor di
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Jika
terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka sesuai undang-undang, pelaku
usaha akan diganjar denda dengan rentang minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25
miliar.
0 komentar:
Posting Komentar