CONTOH SURAT PERJANJIAN
SEWA KIOS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
1.
Nama : Dyandra Alviolita
Alamat :
Halim Perdana Kusuma
Selanjutnya disebut sebgai pihak 1(pertama)/Pemilik
kios
2.
Nama : Jasmine Makyla
Alamat :
Puri Gading , Bekasi
Selanjutnya disebut sebagai pihak II
(kedua)/penyewa kios
Hari ini Sabtu ,tanggal 09 April 2016 , pihak
1 selaku pemilik kios di Jln.Pondok Gede Raya ,menyewakan kepada pihak II
selama 3 (tiga) tahun dengan harga sewa Rp.15.000.000 (lima belas juta rupiah )
per tahun mulai 11 April 2016 – 11 April
2019. Adapun cara pembayaran akan dibayarakan setiap 1 tahun sekali .
Demikian surat perjanjian ini kami buat
dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan sari pihak manapun. Dan apabila di
ku=emudian hari terjadi perselisihan maka akan di selesaikan secara
kekeluargaan .
Jakarta, 09 April 2016
Pihak Pertama Pihak Kedua
Dyandra Alviolita Jasmine Makyla
SAKSI-SAKSI
Denada Pandipta Pradipta
Kenda
PERJANJIAN DAN PERIKATAN
A.PENGERTIAN
PERIKATAN
Hukum
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu
pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana
juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat
sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk
berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan
bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian
agar memotong rambut tidak sampai botak
B.
Dasar hukum perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian
dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi
undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.
Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar
hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .
Sumber perikatan
berdasarkan undang-undang :
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang.
C. Azas-azas
hukum perikatan
1. ASAS KONSENSUALISME
Asas
konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320
KUHPdt :untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal. Pengertian
kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui
antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2.
ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas
pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat
(1) KUHPdt:
· Perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang….”
· Para
pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu
merupakan kehendak bebas para pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
3.
ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
·Membuat atau tidak membuat perjanjian;
· Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
· Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya;
· Menentukan bentuk perjanjian,
yaitu tertulis atau lisan.
ASAS-ASAS
HUKUM PERIKATAN Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa
asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.
Asas kepercayaan;
2. Asas
persamaan hukum;
3.
Asas keseimbangan;
4.
Asas kepastian hukum;
5.
Asas moral;
6.
Asas kepatutan;
7.
Asas kebiasaan;
8.
Asas perlindungan;
D.
Hapusnya Perikatan
Dalam
KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan,
tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal
1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara
tersebut adalah:
·
Pembayaran.
·
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
(konsignasi).
·
Pembaharuan utang (novasi).
·
Perjumpaan utang atau kompensasi.
·
Percampuran utang (konfusio).
·
Pembebasan utang.
·
Musnahnya barang terutang.
·
Batal/ pembatalan.
·
Berlakunya suatu syarat batal.
· Dan
lewatnya waktu (daluarsa).
HUKUM
PERJANJIAN
A.
Standar
Kontrak
Menurut Mariam Darus, standar kontrak
terbagi 2 yaitu umum dan khusus. - Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
- Kontrak standar khusus, artinya kontrak
standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak
ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Menurut Remi Syahdeini, keabsahan
berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru
eksistensinya sudah merupakan kenyataan.
Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat.
Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih
dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisi:
1. Nama dan
tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2. Subjek dan
jangka waktu kontrak
3. Lingkup
kontrak
4. Dasar-dasar
pelaksanaan kontrak
5. Kewajiban dan
tanggung jawab
6. Pembatalan
kontrak
B.
Macam – Macam Perjanjian
1.
Perjanjian Jual-beli
2.
Perjanjian Tukar Menukar
3.
Perjanjian Sewa-Menyewa
4.
Perjanjian Persekutuan
5.
Perjanjian Perkumpulan
6.
Perjanjian Hibah
7.
Perjanjian Penitipan Barang
8.
Perjanjian Pinjam-Pakai
9.
Perjanjian Pinjam Meminjam
10. Perjanjian Untung-Untungan
C.
Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1.
Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai
segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara
bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan
hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3.
Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini
diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4.
Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai
maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal
ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau
ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu
atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
D.
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian
dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal
demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi
karena;
1.
Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka
waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama
melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara
financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.
Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat hukum
5.
Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan
perjanjian .
PERJANJIAN TIDAK BERNAMA
Pengertian Perjanjian Tidak Bernama dan Dasar Hukumnya
Perjanjian tidak bernama, adalah perjanjian-perjanjian yang
belum ada pengaturannya secara khusus di dalam Undang-Undang, karena tidak
diatur dalam KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya
perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
mengadakan perjanjian atau partij
otonomi.
Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319
KUHPerdata, yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.
Di luar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise,
kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis
ini disebut perjanjian innominaat,
yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik
kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang
berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.
Leasing sebenarnya
berasal dari kata lease yang
berarti menyewakan. Di Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan nama
“sewa guna usaha”. Sewa Guna Usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor
menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran
sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment funding,
yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses
produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.
Pasal 1 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik IndonesiaNo.1169/KMK.01/1991 memberikan definisi leasing, yaitu:
“Sewa-guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan
oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”
Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama
sampai saat ini tidak ada undang-undang khusus yang mengaturnya. Pengaturan
leasing baru terdapat pada tingkat Keputusan Menteri Keuangan dan
peraturan-peraturan lain dibawahnya.
Ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagai pegangan yang pasti adalah Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974,No.32/M/SK/2/1974,
dan No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974.
Leasing
merupakan perjanjian yang lahir dari praktek kehidupan masyarakat berdasarkan
prinsip asas kebebasan berkontrak. Leasing sebagai salah satu lembaga hukum
perjanjian merupakan perjanjian in-nominat (perjanjian tidak bernama) dimana
ketentuan mengenai perjanjian tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan
umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab I
dan Bab II KUHPerdata, hal ini seperti yang ditentukan dalam pasal 1319
KUHPerdata.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Lembaga
Leasing
Lembaga
Leasing merupakan suatu hal baru untuk Indonesia diakui oleh Mahkamah Agung.
Asas kebebasan berkontrak yang menjadi dasar untuk diperkayanya lembaga-lembaga
hukum dalam sistem di Indonesia yang tumbuh dalam praktek ini.
Putusan
Mahkamah Agung Reg. 131K/Pdt/1987 tertanggal 14 November 1988 telah
memperkembangkan berbagai lembaga-lembaga baru dalam sistem hukum di Indonesia,
karena dalam praktek banyak dipergunakan sehari-hari di Indonesia, Pengadilan
juga mengakui keabsahannya.
Dalam
putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:
“Bahwa walaupun Lembaga Leasing tidak diatur dalam KUHPerdata,
namun dengan sistem
terbuka yang
dianut oleh KUHPerdata tersebut di mana terdapat asas Kebebasan Berkontrak, maka pihak-pihak bebas untuk
mengadakan perjanjian apa saja selama tidak bertentangan dengan pasal 1320
KUHPerdata “; Jadi Mahkamah Agung secara tegas mendukung adanya asas
kebebasan berkontrak. Segala perjanjian yang tidak dilarang adalah
diperbolehkan.
SUMBER :