Minggu, 26 Maret 2017




Indonesia accepts FIFA ban on national coach


Indonesia coach Aji Santoso has been banned for four games and fined by FIFA for accusing match officials of taking bribes during a 10-0 loss to Bahrain in World Cup qualifying. The Indonesian Football Association and Santoso said on Wednesday they accepted the punishments but didn't rule out an appeal. Santoso, now coaching the national under-23 side, was fined $6,530. Santoso was red-carded by Lebanese referee Andre Al Haddad in the 75th minute of February's match in Manama following allegations he accused Al Haddad of being bribed . FIFA said Santoso told the officials “(there is) money involved (here).”  In the second minute, Al Haddad sent off Indonesia's goalkeeper and awarded four penalties to Bahrain, which needed to make up a nine-goal deficit on Qatar to have a chance of advancing to the next round. However, Qatar drew 2-2 with Iran, and those two advanced. FIFA called the outcome "unusual" and launched an investigation.
Indonesia was warned by FIFA before the match to send its strongest team, but an inexperienced team was selected after Indonesia suspended players from clubs in the breakaway Indonesian Super League. Edi Ellison, the spokesman for the Indonesian association, said they will wait to decide on an appeal after the result of FIFA's probe.
Because of the loss to Bahrain and the breakaway league, the government was planning to cut funding to the association.




Sumber :

Jumat, 03 Februari 2017

Connector in accounting article


Contracting in the Self-reporting Economy
by Romana L. Autrey & Richard Sansing
EXECUTIVE SUMMARY — Intellectual property can be used by its ownerdirectly, licensed to a third party for a fixed royalty, or licensed to a third party for a variable royalty. The variable royalty arrangement depends on self-reporting by the licensee, which in turn induces demand for auditing by the licensor. This research studies a setting with the following features: a production cost advantage on the part of the outside party that creates gains from licensing; a limited liability constraint that prevents the licensee from owing more royalties than the gross profits of licensing the intellectual property and prevents the licensor from capturing all of the economic surplus via a fixed royalty agreement; and accounting and auditing costs that reduce the benefits of a variable royalty agreement. Key concepts include:
·         The owner of intellectual property will enter into a variable royalty agreement with an outside party if—and only if—the accounting and auditing costs are sufficiently low.
·         With higher cost levels, the owner will use the property directly if the owner can do so profitably. Otherwise, the owner will prefer to license the property in exchange for a fixed royalty.
·         The expected aggregate accounting system and audit costs are minimized when the licensor can compel the licensee to bear the audit costs in case underreporting is detected.
·         Internal control provisions within the Sarbanes-Oxley Act make variable royalty arrangements based on self-reporting and auditing relatively more attractive than such arrangements prior to Sarbanes-Oxley. Sarbanes-Oxley effectively lowers the licensor's audit costs even though the licensor must audit all low reports, because auditing all low reports deters the licensee from underreporting in the first place.



Selasa, 06 Desember 2016

"Degree of camparison" in econimic article



Biggest Winners and Losers in Wake of Election (CXW, RGR)

When billionaire real estate mogul Donald Trump clenched the election for President of the United States on Tuesday night, markets around the world went into shock alongside millions of Americans who had expected a victory by Hillary Clinton based on polling results. Due to Trump's tendency to switch positions and widespread uncertainty about his economic positions, markets saw his election as more difficult to predict and, therefore, more volatile than Clinton's. After a quick nosedive, however, it is clear that some areas of the market are looking up. Which were hit hardest, and which may see immediate gains in the aftermath?

Rallies in Financial, Energy Areas
Despite initial shock at Trump's nomination that sent the Dow futures tumbling by nearly 800 points and a drop of 5% in the S&P 500, by the middle of November 9th, markets had in many cases leveled off. In fact, a few sectors managed to rally in the later hours of the day. Financial and energy stocks generally saw gains, owing perhaps to investor speculation that Trump may ease off on industry regulations in these areas. Besides these areas, prison and biotech stocks saw gains as well. Corrections Corporation of America (CXW) closed 43% higher yesterday. While President Obama had pledged to phase private prisons out of use, many investors clearly expect Trump to change the country's course, meaning a period of potential growth for the industry.

Clean Energy, Guns Slump
While some sectors rallied in the wake of Trump's victory, others saw investor hesitation creep in almost immediately. Both clean energy and gun stocks witnessed precipitous drops, as investors are uncertain about prospects of those businesses after Trump assumes office. Sturm Ruger & Co Inc (RGR) closed 14% lower. Besides stocks, the Mexican peso also saw a decline on the day, reflecting general concern about what Trump's trade plans may mean for trade between the U.S. and its neighbor to the south. In the case of gun stocks, which saw declines of 15% or more in some cases, drops in stock prices might reflect a potential shift in sales; with customers concerned about the possibility of stricter gun regulations under a Hillary Clinton presidency, sales had been climbing in recent weeks, and stock prices had joined them. Considering that Trump is likely to reduce regulations regarding gun purchases, if anything, investors may be anticipating a decline in sales in the short term.
Widespread market volatility is common in the period immediately before and after a U.S. presidential election. While these shifts tend to even out in the short term, what remains to be determined is how the new policies and actions of an incoming president will have longer lasting impacts on the economy in general and businesses in particular.







Selasa, 18 Oktober 2016

5 Sentences in british english and american english

5 Sentences in british english and american english

Selasa, 28 Juni 2016

Penulisan mengenai Persaingan usaha Tidak Sehat dan Contoh Kasusnya


Dalam penulisan kali ini saya akan membahas salah satu Persaingan usaha tidak sehat yaitu “Penguasaan Pasar :
Penguasaan Pasar
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain. Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 rnerumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan: Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiaran, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu
1.     menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk rnelakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
2.    menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
3.    membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkuran; atau melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dari bunyi ketentuan Pasal 19 tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yaitu
1.     menolak, menghalangi, atau menolak dan menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2.    menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungaa usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
3.    membatasi peredaran, penjualan, atau peredaran dan penjualan barang, jasa, atau barang dan jasa pada pasar bersangkutan;
4.    d.      melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
CONTOH KASUS:
Penguasaan pasar di tangan Astro memang mengubah kebiasaan masyrakat banyak. Kini hanya mereka yang sanggup membayar Rp. 200 ribu per bulan dengan berlangganan Astro yang dapat menyaksikan sebuah liga sepakbola yang sering disebut sebagai paling kompetitif dan atraktif di dunia tersebut. Mayoritas penggemar lainnya akan hanya bisa mendengarkan cuplikan beritanya, karena satu alasan sederhana: tarif berlangganan itu terlalu tinggi untuk kondisi ekonomi mereka yang memang sangat terbatas.
Namun tentu saja, yang mengeluh bukan hanya kaum miskin. Isu ini juga diangkat oleh para pengelola lembaga penyiaran berlangganan pesaing Astro yang kehilangan salah satu program unggulan mereka. Yang dikuatirkan, monopoli di tangan Astro akan merebut pangsa pasar yang jumlahnya sudah sangat terbatas .
Dalam studi kasus monopoli siaran liga Inggris yang dilakukan oleh Astro TV banyak pasal yang bisa dikaitkan atau dikenakan, dalam pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
1.     menolak dan atau menghalangai pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
2.    atau mematikan usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Ada dua aspek tentang penyiaran Liga Inggris, yaitu ada hak publik dan sisi keadilan berbisnis. Hak publik harus segera dikembalikan ke publik. Masyarakat tidak mau tahu mengenai tender internasional hak siar Liga Inggris yang dimenangkan oleh ESPN Star Sport, dan untuk Indonesia hak siar tersebut dipegang hanya oleh Astro. Masyarakat hanya mengharapkan mereka bisa melihat siaran Liga Inggris dengan mudah dan gratis di TV mana pun. Mengenai aspek kedua terkait Liga Inggris, adalah dari sisi keadilan berbisnis. Hal inilah yang akan dibawa dan diselesaikan ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) .
Pasal lanjutan yang dikenakan adalah mengenai persekongkolan, bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain unyuk mengatur dan atau menentukan pemenag tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat . Dugaan diluncurkan para pihak yang merasa dirugikan karena diduga proses pemberian hak siar ekslusif dari ESS kepada Astro, tidak melalui mekanisme competition for the market yang wajar.
Mengenai penjualan hak siar Liga Inggris kepada Astro ini, berkembang di kalangan pertelevisian bahwa diduga dana pembelian ESS ketika memenangkan lelang tayangan Liga Inggris berasal dari Astro, sementara pihak ESS hanya bertindak sebagai broker saja .

SUMBER:

BENARKAH ADA KARTEL YANG MEMPENGARUHI HARGA DAGING DI PASARAN ?




Rimanews - Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang meminta aparat keamanan mengungkap kartel di balik tingginya harga pangan, terutama daging sapi saat Ramadhan. 
Dia menduga setidaknya ada lima kartel besar yang terlibat dalam hal ini. 
"Sedikitnya lima kartel besar. Biar aparat keamanan yang menertibkan dia. Tetapi ini dilihat dari mengapa Presiden berani mengatakan harga daging cukup Rp80 ribu per kilogram? Karena Presiden sudah komunikasi dengan menterinya," ujar dia di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (8/06/2016).  
"Ini harus kita bongkar. Ini kepentingan rakyat, karena kartel-kartel telah menindas rakyat. Harga daging sebenarnya bisa Rp70 ribu. Presiden cerdas, tahu harga daging berapa," tambah Oesman. 
MPR, lanjut dia, sangat mendukung harga pangan yang terjangkau rakyat. "MPR akan sangat mendukung harga yang terjangkau. Kita sepakat dengan harga yang relevan. Tentu ada sesuatu yang harus dibongkar," tutur OSO, sapaan akrab Osman.







Bisnis.com, JAKARTA - Saksi ahli dari pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut diduga disebabkan oleh adanya perilaku anti persaingan usaha.
Saksi ahli hukum persaingan usaha Prahasto W. Pamungkas mengatakan terjadinya dampak kenaikan harga bisa disebabkan oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tindakan tersebut dapat berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak secara bersama-sama.
"Pelaksanaan tindakan tersebut bisa saja dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik berbentuk tertulis atau lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata Prahasto dalam sidang pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu (20/1/2016).
Dia menjelaskan unsur dalam perilaku kartel disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bunyi pasal tersebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prahasto menuturkan dugaan penahanan pasokan yang dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan investigator Komisi dengan kenaikan harga daging sapi di pasaran. Hal tersebut perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian dan bukti keuntungan dari pelaku usaha.
Jika mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak keuntungan maupun kenaikan harga tidak diperlukan. Selama unsur perjanjian dan pengaturan pasokan terpenuhi, maka para terlapor sudah memenuhi tindakan kartel yang tercantum dalam pasal tersebut.
Menurutnya, pembuktian keuntungan maupun kerugian para terlapor membutuhkan alat bukti ekonomi atau circumstantial evidence. Pembuktian tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan yang berkaitan, kendati belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.
Sementara itu, kuasa hukum para terlapor Rian Hidayat mengatakan selama persidangan Komisi belum bisa membuktikan adanya perilaku kartel maupun penahanan pasokan.
"Selama ini belum pernah disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya kartel," kata Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.
Dia menjelaskan para terlapor tidak mungkin melakukan kartel karena kekuatan pasar rata-rata masih di bawah 3% secara nasional.
Rian menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Produksi sapi lokal dinilai masih sangat minim.
Di sisi lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.
Menurutnya, kebijakan kuota dari pemerintah juga harus disorot oleh KPPU.
"Ahli yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami tidak kompeten karena bukan merupakan tenaga pengajar akademis di bidang persaingan usaha," ujarnya.
Dalam Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32 terlapor tentang gugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor 5/1999 dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Jika terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka sesuai undang-undang, pelaku usaha akan diganjar denda dengan rentang minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.




SUMBER :
http://rimanews.com/ekonomi/bisnis/read/20160608/285580/Ada-Kartel-di-Balik-Meroketnya-Harga-Daging-Sapi

BENARKAH ADA KARTEL YANG MEMPENGARUHI HARGA DAGING DI PASARAN ?




Rimanews - Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang meminta aparat keamanan mengungkap kartel di balik tingginya harga pangan, terutama daging sapi saat Ramadhan. 
Dia menduga setidaknya ada lima kartel besar yang terlibat dalam hal ini. 
"Sedikitnya lima kartel besar. Biar aparat keamanan yang menertibkan dia. Tetapi ini dilihat dari mengapa Presiden berani mengatakan harga daging cukup Rp80 ribu per kilogram? Karena Presiden sudah komunikasi dengan menterinya," ujar dia di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (8/06/2016).  
"Ini harus kita bongkar. Ini kepentingan rakyat, karena kartel-kartel telah menindas rakyat. Harga daging sebenarnya bisa Rp70 ribu. Presiden cerdas, tahu harga daging berapa," tambah Oesman. 
MPR, lanjut dia, sangat mendukung harga pangan yang terjangkau rakyat. "MPR akan sangat mendukung harga yang terjangkau. Kita sepakat dengan harga yang relevan. Tentu ada sesuatu yang harus dibongkar," tutur OSO, sapaan akrab Osman.







Bisnis.com, JAKARTA - Saksi ahli dari pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut diduga disebabkan oleh adanya perilaku anti persaingan usaha.
Saksi ahli hukum persaingan usaha Prahasto W. Pamungkas mengatakan terjadinya dampak kenaikan harga bisa disebabkan oleh suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tindakan tersebut dapat berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak secara bersama-sama.
"Pelaksanaan tindakan tersebut bisa saja dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik berbentuk tertulis atau lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata Prahasto dalam sidang pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu (20/1/2016).
Dia menjelaskan unsur dalam perilaku kartel disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bunyi pasal tersebut, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Prahasto menuturkan dugaan penahanan pasokan yang dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan investigator Komisi dengan kenaikan harga daging sapi di pasaran. Hal tersebut perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian dan bukti keuntungan dari pelaku usaha.
Jika mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak keuntungan maupun kenaikan harga tidak diperlukan. Selama unsur perjanjian dan pengaturan pasokan terpenuhi, maka para terlapor sudah memenuhi tindakan kartel yang tercantum dalam pasal tersebut.
Menurutnya, pembuktian keuntungan maupun kerugian para terlapor membutuhkan alat bukti ekonomi atau circumstantial evidence. Pembuktian tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan yang berkaitan, kendati belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.
Sementara itu, kuasa hukum para terlapor Rian Hidayat mengatakan selama persidangan Komisi belum bisa membuktikan adanya perilaku kartel maupun penahanan pasokan.
"Selama ini belum pernah disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya kartel," kata Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.
Dia menjelaskan para terlapor tidak mungkin melakukan kartel karena kekuatan pasar rata-rata masih di bawah 3% secara nasional.
Rian menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri sebagian besar berasal dari impor. Produksi sapi lokal dinilai masih sangat minim.
Di sisi lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.
Menurutnya, kebijakan kuota dari pemerintah juga harus disorot oleh KPPU.
"Ahli yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami tidak kompeten karena bukan merupakan tenaga pengajar akademis di bidang persaingan usaha," ujarnya.
Dalam Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32 terlapor tentang gugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor 5/1999 dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Jika terlapor terbukti melakukan praktik kartel, maka sesuai undang-undang, pelaku usaha akan diganjar denda dengan rentang minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.




SUMBER :
http://rimanews.com/ekonomi/bisnis/read/20160608/285580/Ada-Kartel-di-Balik-Meroketnya-Harga-Daging-Sapi
 

Anggi Luvtiana Template by Ipietoon Cute Blog Design